Selasa, 23 April 2013
Senin, 22 April 2013
PAHLAWAN KU : Kapten Muslihat
Kapten Muslihat
Kapten
Muslihat memiliki nama lengkap Tubagus Muslihat. Anak Tubagus Djahanuddin yang
memiliki dua anak. Beliau lahir pada Senin, 26 Oktober 1926, di Pandeglang.
Waktu itu sedang ramai-ramainya kaum Komunis memberontak terhadap pemerintah
Belanda.
Tubagus Muslihat bersekolah di HIS Rangkasbitung, namun hanya sampai kelas tiga. Selanjutnya beliau pindah ke Jakarta dan meneruskan sekolah HIS-nya hingga tamat tahun 1940. Kemudian melanjutkan ke Taman Siswa bagian MULO sampai kelas dua. Keluarnya Muslihat dari sekolah karena kondisi saat itu yang tidak memungkinkannya melanjutkan sekolah. Beliau kemudian bekerja di Bosbow Proefstation (Balai Penelitian Kehutanan) di Gunung Batu, Bogor. Baru beberapa bulan bekerja terjadilah perang Pasifik.
Tentara dan pemerintah Hindia Belanda menyerah. Kota Bogor saat itu diduduki oleh tentara Jepang. Kapten Muslihat berhenti dari pekerjaan tahun 1942, ketika Jepang sudah menduduki Kota Bogor. Tahun 1943, Muslihat bekerja di Rumah Sakit Kedung Halang sebagai juru rawat. Namun tidak terlalu lama, kemudian pindah lagi ke jawatan Kehutanan.
Saat ada kesempatan dan peluang menjadi Tentara Pembela Tanah Air untuk memperjuangkan Nusantara, Muslihat langsung mendaftar menjadi tentara PETA. Setelah lulus beberapa kali testing, beliau diterima jadi Shudancoo di Bogor bersama dengan Tarmat, Ishak Djuarsa, Abu Umar dan Bustomi.
25 Desember 1945, Kapten Muslihat diikuti dengan beberapa anak buahnya, salah satunya adalah adiknya yaitu Gustiman (Muslihat tidak mengetahui bahwa adiknya ikut dalam rombongannya) menggempur kantor polisi yang ada di Jalan Banten (sekarang jadi nama Jalan Kapten Muslihat).
Kedua belah pihak baku tempat di tempat persembunyian. Merasa kesal karena perang tidak ada hasilnya, Kapten Muslihat berdiri lantas menembak, terlihat beberapa musuh berjungkalan. Namun sebaliknya tidak tahu datangnya darimana, salah satu peluru musuh menembus perutnya.
Namun demikian Kapten Muslihat tetap berdiri sambil menembak meski tak terhitung lagi berapa butir peluru menembus badannya. Peluru tersebut (hasil bedah memperlihatkan bahwa peluru yang menembus Muslihat berjenis dum-dum) menyobek kulit perutnya hingga bersimbah darah.
Melihat keadaan Muslihat, Gustiman menghampirinya sembari memeluk, akan tetapi Kapten Muslihat memerintahkan adiknya agar segera menyingkir, khawatir jumlah korban bertambah.
Tanpa diketahui satu peluru mengenai punggungnya, Kapten Muslihat roboh, tubuhnya bersimbah darah. Kaos yang tadinya putih berubah jadi merah. Membasahi tubuh dan tanah air. Akhirnya dengan susah payah lantaran terus menerus dihujani tembakan, jasad Kapten Muslihat bisa diangkat dan dibawa kerumahnya di Panaragan (salah satu nama kelurahan di Bogor Tengah. Letaknya sejajar dengan jalan Veteran) oleh barisan PMI dan dibantu anak buahnya.
Sebelum sekaratul maut, Muslihat berpesan ke orangtuanya agar uang simpanannya yang berjumlah Rp 600 supaya diinfaqkan ke fakir miskin.
Kepada teman-teman kerjanya dan anak buahnya yang gugur memerdekakan negeri beliau memberikan pesan untuk meneruskan perjuangan. “Urang pasti meunang jeung Indonesia bakalan merdeka” (Kita pasti menang dan Indonesia bakalan merdeka).
Meninggalnya Kapten Muslihat disaksikan oleh Dr. Marzoeki Mahdi (sekarang menjadi salah satu nama rumah sakit di kawasan Cilendek). Sambil mengucapkan takbir “Allahu Akbar” tiga kali, dalam keadaan tenang, pasrah, Kapten Tubagus Muslihat menghadap ke Yang Menciptakan, Yang Mewafatkan dan Yang Merajai Alam Dunia, kembali ke asal. Keesokan harinya jasadnya dikuburkan dalam keadaan masih perang dan meninggalkan istri yang sedang mengandung.
Tubagus Muslihat bersekolah di HIS Rangkasbitung, namun hanya sampai kelas tiga. Selanjutnya beliau pindah ke Jakarta dan meneruskan sekolah HIS-nya hingga tamat tahun 1940. Kemudian melanjutkan ke Taman Siswa bagian MULO sampai kelas dua. Keluarnya Muslihat dari sekolah karena kondisi saat itu yang tidak memungkinkannya melanjutkan sekolah. Beliau kemudian bekerja di Bosbow Proefstation (Balai Penelitian Kehutanan) di Gunung Batu, Bogor. Baru beberapa bulan bekerja terjadilah perang Pasifik.
Tentara dan pemerintah Hindia Belanda menyerah. Kota Bogor saat itu diduduki oleh tentara Jepang. Kapten Muslihat berhenti dari pekerjaan tahun 1942, ketika Jepang sudah menduduki Kota Bogor. Tahun 1943, Muslihat bekerja di Rumah Sakit Kedung Halang sebagai juru rawat. Namun tidak terlalu lama, kemudian pindah lagi ke jawatan Kehutanan.
Saat ada kesempatan dan peluang menjadi Tentara Pembela Tanah Air untuk memperjuangkan Nusantara, Muslihat langsung mendaftar menjadi tentara PETA. Setelah lulus beberapa kali testing, beliau diterima jadi Shudancoo di Bogor bersama dengan Tarmat, Ishak Djuarsa, Abu Umar dan Bustomi.
25 Desember 1945, Kapten Muslihat diikuti dengan beberapa anak buahnya, salah satunya adalah adiknya yaitu Gustiman (Muslihat tidak mengetahui bahwa adiknya ikut dalam rombongannya) menggempur kantor polisi yang ada di Jalan Banten (sekarang jadi nama Jalan Kapten Muslihat).
Kedua belah pihak baku tempat di tempat persembunyian. Merasa kesal karena perang tidak ada hasilnya, Kapten Muslihat berdiri lantas menembak, terlihat beberapa musuh berjungkalan. Namun sebaliknya tidak tahu datangnya darimana, salah satu peluru musuh menembus perutnya.
Namun demikian Kapten Muslihat tetap berdiri sambil menembak meski tak terhitung lagi berapa butir peluru menembus badannya. Peluru tersebut (hasil bedah memperlihatkan bahwa peluru yang menembus Muslihat berjenis dum-dum) menyobek kulit perutnya hingga bersimbah darah.
Melihat keadaan Muslihat, Gustiman menghampirinya sembari memeluk, akan tetapi Kapten Muslihat memerintahkan adiknya agar segera menyingkir, khawatir jumlah korban bertambah.
Tanpa diketahui satu peluru mengenai punggungnya, Kapten Muslihat roboh, tubuhnya bersimbah darah. Kaos yang tadinya putih berubah jadi merah. Membasahi tubuh dan tanah air. Akhirnya dengan susah payah lantaran terus menerus dihujani tembakan, jasad Kapten Muslihat bisa diangkat dan dibawa kerumahnya di Panaragan (salah satu nama kelurahan di Bogor Tengah. Letaknya sejajar dengan jalan Veteran) oleh barisan PMI dan dibantu anak buahnya.
Sebelum sekaratul maut, Muslihat berpesan ke orangtuanya agar uang simpanannya yang berjumlah Rp 600 supaya diinfaqkan ke fakir miskin.
Kepada teman-teman kerjanya dan anak buahnya yang gugur memerdekakan negeri beliau memberikan pesan untuk meneruskan perjuangan. “Urang pasti meunang jeung Indonesia bakalan merdeka” (Kita pasti menang dan Indonesia bakalan merdeka).
Meninggalnya Kapten Muslihat disaksikan oleh Dr. Marzoeki Mahdi (sekarang menjadi salah satu nama rumah sakit di kawasan Cilendek). Sambil mengucapkan takbir “Allahu Akbar” tiga kali, dalam keadaan tenang, pasrah, Kapten Tubagus Muslihat menghadap ke Yang Menciptakan, Yang Mewafatkan dan Yang Merajai Alam Dunia, kembali ke asal. Keesokan harinya jasadnya dikuburkan dalam keadaan masih perang dan meninggalkan istri yang sedang mengandung.
Langganan:
Postingan (Atom)